Melanjutkan artikel berjudul
ZELFBESTUUR YANG DIKEHENDAKI HOS TJOKROAMINOTO (1924-1934) Melawan Lupa : NATICO I, di Bandung, Alun-alun & Gedung Concordia (Gedung Merdeka), 17 – 24 Juni 1916.
Bagian II
Oleh Nunu A Hamijaya
“kita harus mencintai bangsa sendiri dengan mempersatukan mereka dengan kekuatan ajaran Islam…” HOS Tjokroaminoto
Pemikiran tentang sebuah negara merdeka bagi pribumi Hindia Belanda digagas pula oleh Partai Indishe Partey-nya (1912 di Bandung) tiga serangkai yaitu dr. Tjipto Mangunkusumo, dr. Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Partai inilah yang menjadi anutan kaum intelektual pribumi didikan Barat, termasuk Soekarno-Hatta, yang menghendaki adanya national-state pada tahun 30-an.
Ernest François Eugène Douwes Dekker (lebih dikenal sebagai Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi) diakui Soekarno sebagai patron-rujukan-nya dalam berpolitik sehingga melahirkan Partai Nasional Indonesia (PNI,1927). Dialah yang pertama kali menyerukan semboyan Indie los van Holland (Indonesia lepas dari negeri Belanda). Ia pula yang mengajak kaum Indo-Eropa untuk tidak lagi menyebut diri sebagai orang Eropa. “Ik ben Indisch, Ik ben Indonesier! Aku seorang Indo, aku bangsa Indonesia”
Semetara itu, Soewardi di harian De Express milik Douwes Dekker menulis artikel yang terkenal berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Sedangkan dr Tjipto Mangoenkoesoemo, berusaha membelanya dengan menulis di majalah Indische Partij yang bernama Het Tijdschift dan De Express, dengan judul Kekuatan atau Ketakutan. Kritik Soewardi itu berbuntut penangkapan dirinya. Ia dibuang ke Pulau Bangka.Sedangkan Tjiptomangunkusomo dibunag ke Pulau Banda.
HOS Tjokroaminoto : Berkiblat ke Mekkah-Madinah
Sementara, HOS Tjokroaminoto, meskipun didikan OSVIA, namun rujukan pemikiran bernegara-nya justru tidak berkiblat kepada Barat, dan lebih memilih Mekkah sebagai episentrum-nya sehingga gagasan PAN ISLAMISME menjadi anutan beliau dalam pergerakan Islam Bernegara lewat CSI/SI,yang kemudian menjadi PSII (1929). Hal ini pula yang menjadi sebab, mengapa Pak Tjokro lebih memilih institusi Khilafah sebagai ‘frame of reference ‘ dalam berpolitik-kenegaraan. Dalam masa itu, (1929-30) HOS Tjokroaminoto sudah membaca kitab al Ahkam us Sulthaniyah- karya al Mawardi sebagai rujukannya.
Darah ulama pejuang HOS Tjokroaminoto mengalir dari sosok KH Kasan Besari, (Lahir1729 M) cucu Kiyai Ageung Muhammad Besari sebagai pendiri Pesantren Tegalsari, Ponorogo. Ditangan Hasan Besari, Pesantren Tegalsari menjadi pusat pendidikan politik islam bagi para bangsawan Mataram (Pakubuwana III). Kiyai Kasan Besari adalah adalah menatu Pakubuwono III, yang menikahi putrinya Bra. Murtosyah. Salah seorang putranya, R.M. Cokronegoro adalah kakek HOS Tjokroamioto. Kiyai Kasan Besari adalah guru R. Ng. Ronggowarsito Pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yang sangat terkenal.
Menurut Gus Dur (Mantan Presiden RI) dalam buku Reinventing Indonesia yang dikutip Abdul Munir Mulkan bahwa ada dua muara kepemimpina nasional. Pertama, jika bukan datangnya dari raja-raja Jawa ,maka kedua datang dari seorang kiayi, yaitu Kasan Besari.
Tatkala, 3 Maret 1924 Khilafah Turki Ustmani dibubarkan dan diganti oleh national-state Negara Nasional Turki oleh Kemal Attaturk, maka bersama tokoh-tokoh sehaluan dari al Irsyad dan Muhammadiyah beliau mempelopori melakukan gerakan politik usaha-usaha mengembalikan ‘intitusi kekhilafahan’. Antara lain, dengan menginisiasi adanya Kongres Khilafah dan di Hindia Belanda berdirinya Komite-komite Khilafah merupakan ‘tapak sujud’ atau bukti kesejarahan yang tak terbantahkan tentang ‘model zelfbestuur’ mana yang menjadi rujukan HOS Tjokroaminoto. Pada Kongres Khilafah di Mekkah pada 1 Juni 1926, muslim Hindia Belanda mengirimkan dua orang utusan, yaitu HOS Tjokroaminoto (Central Sjarikat Islam) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukan mereka ditetapkan dalam Kongres Al Islam ke-4 di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan Kongres ke-5 di Bandung (6 Februari 1926).
Pemahaman Nasionalisme HOS Tjokroaminoto
Beliau kembali menegaskan bahwa, Nasionalisme bukan cara untuk bersepakatnya menjadi Satu Bangsa, perasaan bersama sebagai bagian dari nation dan direalisasikan secara terorganisasi menjadi keputusan politik bersama dalam sebuah state, sehingga mengakibatkan Islam tak mendapat ruang secara konsisten sebagaimana sifat dasar dan praktik-praktik Islam sebagai agama. Karena dengan mendefinisikan nation state sebagai bagian yang terpisah dengan agama Islam maka Nasionalisme seperti itu dianggap telah menyalahi substansi Nasionalisme sekaligus melampau makna Nasionalisme itu sendiri.
Konsepsi tentang patriotisme dan Nasionalisme memiliki makna yang tentunya menurut beliau bertautan dengan konsepsi religious, yang menurut beliau, patriotisme dan Nasionalisme adalah tanda-tanda hidupnya suatu umat, sedang kemerdekaan nasional wajib dicapai sebagai salah satu syarat menjalankan Islam dalam seluruh aspek kehidupan dan penghidupan.
Menurut beliau, Nasionalisme bukanlah pidato berapi-api dan memukau ditempat pertemuan umum, tetapi dimanapun seorang muslim haruslah mengorbankan seluruh jiwa raga untuk mencapai kemerdekaan tumpah darah, dengan mengedepankan yang ma’ruf, kebaikan serta kebenaran, menjegah hal yang keji dan munkar (ummatun yad’uuna ilalkhairi waya’muruuna bil ma’ruf wa yanhauna ‘anilmunkar).
HOS Tjokroaminoto : Zelfbesttur (1916) Itu Pemerintahan Islam di Indonesia (1930)
Setelah NATICIO I berhasil memaksa pemerintahan Hindia Belanda membujuk CSI dengan mendirikan Volkslaard (1916), sehingga beberapa tokoh CSI duduk dalam lembaga tersebut (HOS Tjokroaminoro dan Abdoel Moeis). Dewan Rakyat ini didirikan di Batavia pada tanggal 16 Desember 1916 saat jabatan Gubernur-Jendral adalah J.P. van Limburg Stirum dan Menteri Urusan Koloni Belanda, Thomas Bastiaan Pleyte.
Namun, nyatalah bahwa bukan dengan jalan berparlemen buatan penjajah-lah gerakan zelfbestuur yang sesungguhnya harus ditempuh. Maka, dalam tahun-tahun berikutnya (1917) menyusun Program Asas-nya, dan secara sempurna diputuskan dalam kongres PSII di Mataram, Yogyakarta (1930). Menjadi Progam Tandhim (Program- Perlawanan) yang merupakan plat form bagi pelaksanaan zelfbestuur kaum PSII sejak 1931 yang tidak pernah dicabut atau dibatalkan sebagai kewajiban segenap Kaum PSII, hingga wafatnya dan hingga saat ini Program Asas-Program Tandhim PSII menjadi pedoman pergerakan PSII .
Dengan mengutip QS An Nur (XXIV) ayat 55, dalam tulisannya, HOS Tjokroaminoto menyatakan ,
“Maka percayalah kita dengan seteguh-teguhnya kepercayaan akan berdirinya Pemerintahan Islam di Indonesia “ ( PA-PT,cetakan 1965, hlm 25)”.
Dalam pernyataannya di halaman 28, HOS Tjokroaminoto menyatakan bahwa
‘tak boleh tidak kita kaum muslimin mesti mempunyai kemerdekaan ummat atau kemerdekaan kebangsaan (nationale vrijheid) dan mesti berkuasa atas negeri tumpah darah kita sendiri”
Dalam bagian Keterangannya, HOS Tjokromanito menjelaskan bahwa yang dimaksud itu ialah mendirikan Negara Islam Merdeka di Madinah, yang kita sebagai muslim wajib meniru contoh yang serupa untuk keperluan kita dan keperluan islam! ( hal 29). Di halaman sebelumnya (22-23), HOS Tjokroaminoto menjelaskan terlebih dahulu tentang syarat mendapatkan kemerdekaan umat yang sepenuh-penuhnya, yaitu jika jatuhnya atau rebahnya Internasionl Imperium dan Internasional Kapitalisme.
Dalam PA-PT, halaman 38, HOS Tjokroaminito menulis, ”maka kaum Partai SI Indonesia sadarlah dengan sepenuh-penuh kesadaran meraa wajib memerangi kapitalisme mulai daripada benihnya sampai kepada akar-akarnya.”
HOS Tjokroaminoto menulis pula tentang kewajiban adanya ahlul aqdi wal halli dan ahlul al imamat yakni mereka yang menjalankan kekuaasaan (souvereneiniteit) dan suatu pemerintahannya (didirikan atas) musyawarah diantara mereka dengan jalan mengadakan majelis syura dalam sistem pemerintahan Islam yang hendak didirikan kelak di Indonesia.
Bersambung
0 Komentar
selalu santun dan layak dibaca