Oleh Moeflich H. Hart
_________
Dialog itu penting untuk mencari persamaan pandangan, untuk mencari saling pengertian dan memecahkan masalah. Tetapi, ada sekelompok orang yang tidak bisa diajak dialog sama sekali. Mereka itu adalah orang-orang yang bebal pikirannya atau selalu memutlakkan pendapatnya sendiri. Dialog dengan mereka tidak akan berjalan, tidak akan ada pertukaran pikiran, tidak ada manfaatnya dan sia-sia. Menghindari perbuatan sia-sia adalah nasehat agama. Orang seperti ini ada ciri-ciri yaitu: vonis, sinis, sadis, bombastis dan bau amis.
#####
*1. Vonis*
Vonis adalah sikap dan pembicaraan yang selalu menghukumi atau memvonis orang: menghukumi pandangan, pikiran dan pendapat orang lain, juga menghukumi situasi dengan ukuran kebenaran yang terbatas yang ada pada dirinya. Dalam dialog, orang seperti itu kesukaannya memvonis saja. Walaupun yang divonis adalah pendapat, pandangan dan pikiran tetapi nuansa dan arahnya bersifat pribadi. Menghukumi pendapat orang tapi akibat yang dirasakannya pribadi.
Kata-kata vonis dalam beragama misalnya mengatakan seseorang “kafir,” “musyrik,” “murtad,” "sesat," “amalnya tidak akan diterima,” dll. Penghukuman terhadap pribadi orang, bahwa pribadi orang itu salah, kafir, musyrik, murtad dan sebagainya adalah bukan bahasa dialog. Main vonis seperti itu adalah kesadaran rendah dan perilaku buruk karena bukan hak manusia sebagai hamba untuk melakukannya.
Ada ungkapan vonis pada situasi yaitu menyalahkan situasi yang belum tentu benar. Misalnya, ada kecelakaan di jalan raya, tanpa mengetahui sebabnya lalu divonis karena ngebut atau karena jalan itu banyak lubang, padahal belum tentu sebabnya itu. Banyak bantuan pakaian terbuang di daerah gempa Cianjur, tanpa menyelidiki apa masalah sebenarnya, hampir semua ramai-ramai memvonis: "Mereka tak tahu terima masih," "tidak bersyukur," "jangan dibantu lagi," "biarkan saja jangan dibantu." Ini semua ungkapan-ungkapan vonis.
Ada kecelakaan berbarengan dengan rombongan presiden lewat, lalu ada orang yang mengatakan: "Gara-gara presiden lewat, jadi tuh lihat ada kecelakaan!” Ini ungkapan vonis. Apa hubungannya rombongan presiden atau pejabat lewat dengan kecelakaan seseorang? Belum tentu, mungkin jauh sekali. Rombongan sudah lewat, ini nyebrang sembarangan atau rem kendaraannya blong lalu dihubungkan secara serampangan. Atau "gara-gara Presiden Jokowi, Indonesia jadi hancur. Kedaulatan negeri terancam, demokrasi menurun, hutang numpuk, masyarakat terbelah." Ini ungkapan vonis. Jokowi bisa saja menjawab enteng: "Lha siapa yang pilih saya jadi presiden? Kalian kan? Rakyat juga kan? Mikiiirr ....!!" Kalau jawabannya begitu, mau apa?
Vonis adalah menghukumi orang atau situasi tanpa dipikirkan dulu, tanpa mencari tahu apa sebabnya apalagi penyelidikan yang mendalam.
Ustadz-ustadz penceramah yang sering mengatakan sebuah amal tidak akan sampai, tidak mendapat pahala, bid'ah, sesat, amal tidak akan diterima oleh Allah, masuk neraka dll, adalah ucapan-ucapan vonis. Tahu dari mana diterima tidaknya sebuah amal? Ada kolusi dengan malaikat pemeriksa amal atau pembagi pahala? Mengatakan itu semua bukan kita umatnya tapi hak atau otoritas Nabi. Biar Nabi saja yang mengatakannya, jangan kita.
Dalam keterbelahan masyarakat selama ini, sebutan-sebutan kadrun, cebong, kampret, onta Arab, anti NKRI, anti Pancasila, radikal dll, semuanya adalah ungkapan-ungkapan vonis. Bila dalam komunikasi, obrolan, diskusi dan
ceramah orang terbiasa mengungkapkan kalimat-kalimat vonis apalagi yakin bahwa vonisnya benar, sudah, orang begitu tidak bisa dan jangan diajak dialog. Tak ada manfaatnya. Tinggalkan saja.
*2. Sinis*
Bila vonis adalah penyerangan pada pribadi, maka sinis adalah penyerangan pada fungsi, hak dan status orang. Sinis adalah fungi dan hak orang diabaikan, kemudian kita bersikap sinis untuk membenarkan apa yang kita lakukan.
Sikap sinis ini dilakukan di depan atau di belakang. Dalam ungkapan sinis, yang dikomentarinya adalah fungsinya, statusnya, penampilannya, fisiknya. Dengan kata lain, yang diperhatikan aspek luarnya, bukan isi argumennya.
Ada orang bertanya kepada seorang ustadz dalam sebuah pengajian. Orang itu meminta komentar sang ustadz tentang penampilan seorang da’i kondang di Bandung: “Kalau tidak bisa bahasa Arab dan menguasai kitab ya bukan kiayi. Dia kan hanya mengajarkan tatakrama saja. Dalam berdakwah juga, pakaian itu kan yaa… biasa saja tidak usah berpenampilan seperti Pangeran Dipenogoro begitu. Itukan tidak ada keharusannya.” Ini ungkapan sinis yang datang dari kedengkian.
Ada juga ustadz fiqh yang mengomentari
fenomena dzikir bersama dengan ungkapan, “Dzikir kok rame-rame begitu, apalagi yang memimpinnya ustadznya tukang memindahkan penyakit kepada binatang. Dzikir itu biasa-biasa saja, tidak perlu rame-rame begitu, kecuali ingin terkenal.”
Itu semua adalah ungkapan-ungkapan sinis karena kedengkian dan kebencian. Dialog dengan orang seperti ini hanya akan membuang-buang waktu, karenanya tidak perlu dilayani.
*3. Sadis*
Sadis adalah sikap menyerang orang berdasarkan selera dirinya, bukan kebenaran. Ungkapan melukai dan menyinggung orang lain dengan klaim-klaim yang menyalahkan secara mutlak. Orang lain sudah tidak ada lagi kebaikannya sama sekali dan mutlak kesalahannya, lalu dihukumi secara sadis.
Misalnya, ungkapan, “yang katanya tokoh intelektual Islam di Indonesia itu kan belajarnya di Amerika. Jelas, dia tidak dipisahkan dari yahudi zionis, karena belajarnya saja di sarang orientalis.” Ini contoh ungkapan sadis. Atau, “orang Kristen itu pasti masuk neraka. Mereka kan orang kafir.” Atau, “Non Muslim itu ya pasti masuk neraka, mereka itu kafir kepada Allah SWT.” Omongan ini sadis dan tanpa ilmu.
Selain ungkapannya belum tentu benar, karena itu urusan Allah semata, juga menyakiti kelompok lain secara tidak perlu. Kemudian, bila pun benar ada keterangan Al-Qur'an yang berbunyi begitu, tapi apa kepentingannya dan manfaatnya kita sebagai Muslim berbicara begitu? Bukankah itu ungkapan yang tidak ramah pada sesama manusia? Tugas kita sebagai Muslim bukan untuk menilai-nilai seperti itu. Yang benar, ajak mereka kepada keyakinan Islam dengan cara yang baik. Memvonis secara sadis seperti itu adalah hak Tuhan sepenuhnya, bukan urusan manusia. Tugas Muslim adalah menjelaskan kebenaran yang dimiliki dan dirasakannya bukan memvonis-vonis secara sadis. Orang yang ungkapannya selalu sadis seperti ini tidak perlu diajak dialog karena tidak ada manfaatnya.
Sadis-sadis yang lain misalnya pernyataan "ingin syariat Islam, sono lu ke Arab, jangan disini." Seolah bumi Allah dan Indonesia itu miliknya. "Disini sudah NKRI dan Pancasila," dia tidak tahu sejarah Pancasila seolah UUD 1945 dan Pancasila terpisah dan tidak mengadopsi aspirasi dan syariat Islam. Padahal syariat Islam sudah banyak yang diadopsi dalam hukum nasional seperti dalam hukum keluarga, pernikahan, perceraian, waris, wakaf, ekonomi dll. Sekarang pemerintah mengembangkan ekonomi syariah, semua bank syariah digabung dalam Bank Syariah Indonesia (BSI).
"Syariat Islam hanya akan membuat konflik, akan membuat Indonesia seperti Suriah, khilafah akan membuat Indonesia hancur berkeping -keping." Itu semua adalah sadisme. Ungkapan-ungkapan tak berilmu, bukan argumen, selera pribadi, bukan pikiran tapi kedengkian dan kebencian. Dialog dengan orang seperti ini hanya akan membuang-buang waktu, karenanya tidak perlu dilayani karena tak ada manfaatnya.
*4. Bombastis*
Bombastis adalah sikap kebaikan palsu, atau kebaikan yang semu. Orang seperti mengungkapkan kebaikan tetapi sebenarnya palsu dan semu, tidak asli, tidak sesungguhnya. Tujuannya, hanya untuk membuat orang lain senang saja. Bombastis juga adalah menyerang orang selintas-selintas, kadang-kadang. Misalnya, ada orang maju diserang, sudah menyerang berhenti. Ada orang terkenal dan disukai banyak orang, disindir-sindir secara sentimen. Itu juga adalah sikap bombastis. Mendukung kebaikan tanpa argumen juga adalah sikap bombastis. Orang yang ucapannya bombastis tidak bisa diajak dialog karena kepalsuan-kepalsuan yang ada pada dirinya. Orang bombastis lebih konsern pada usaha menyenangkan orang secara palsu untuk mendapat pujian, daripada usaha untuk mencari kebenaran.
*5. Bau Amis*
Bau amis adalah mulutnya, komentarnya, ucapannya selalu tidak enak didengar, karena tidak nyambung, bau amis seperti ikan mentah. Komentarnya selalu menyudutkan orang, ucapannya selalu membuat orang tersinggung. Orang seperti ini mulutnya bau amis. Orang seperti tidak perlu diajak dialog, hanya buang-buang waktu, karena tidak bisa diajak berpikir benar, tidak bisa rasional dan tidak bisa berargumen yang baik.[]
1 Komentar
UNTUK KITA RENUNGKAN
BalasHapus``Sesungguhnya orang-orang kafir/menolak agama, sama saja engkau beri peringatan atau tidak, mereka tidak akan percaya. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat siksa yang berat.(al Quran Surat 2 ayat 7dan 8 )
selalu santun dan layak dibaca