Ustadz Abdullah Sungkar,allohu yarham
Ketua DDII Solo (70-an)
Di tahun 80-an, nama Abdullah Sungkar, seorang muballigh dan pengasuh pesantren, menghebohkan jagat politik Indonesia. Pasalnya, dakwahnya yang terbuka dan terus terang, serta keberaniannya mengoreksi sikap penguasa terhadap Islam dan umat Islam, mengantarkannya masuk penjara.
Lahir di Surakarta, Jawa Tengah, tahun 1937. Pada tahun 1967, bersama shahibnya KH Hasan Basri, mendirikan pemancar radio Dakwah ABC (Al- Irsyad Broadcasting Comission) dan 2 tahun kemudian, 1969, mendirikan Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (RADIS).
Radio, tentu saja bukan satu-satunya media dakwah yang bisa dimanfaatkan. Maka, atas inisiatif bersama: Abu Bakar Ba'asyir, Mohammad Amir, SH, Hasan Basri, BA, Abdul Qahar Daeng Matase, Yoyok Rosywadi, dan Abdullah Barajak, Abdullah Sungkar mendirikan Yayasan Pondok Pesantren "Al-Mu'min" di daerah Ngruki, Solo, tahun 1971.
Selain bergerak di bidang pendidikan, Abdullah Sungkar juga aktif di ormas Islam. Ia tercatat sebagai anggota GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Juga pernah diamanahi menjadi Ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Solo. Pada tahun 1976 bergabung dengan jamaah Darul Islam/ NII yang bercita-cita mendirikan negara untuk melaksanakan Syariat Islam.
Akibat dakwahnya yang berani, terus terang, serta kritiknya yang tajam terhadap kezaliman rezim Orde Baru, pimpinan Soeharto, pada tahun 1977, selama satu bulan (12 Maret - 29 April) Abdullah Sungkar ditahan Laksusda Jawa Tengah.
Sejak 10 November 1978 hingga 3 April 1982 (4 tahun), Abdullah Sungkar kembali mendekam di tahanan Laksusda Jawa Tengah, dengan tuduhan merongrong Pancasila dan pemerintahan yang sah. Tuduhan rekayasa mengikuti persepsi politik penguasa yang mendiskreditkan ulama Islam.
Kritiknya yang keras terhadap ideologi asas tunggal pancasila, yang memosisikan pancasila lebih tinggi dari agama, menyebabkannya jadi target buronan politik. Dan kritiknya terhadap asas tunggal pancasila terbukti benar. Setelah rezim Soeharto tumbang, ideologi yang menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas politik maupun organisasi, dihapus di masa pemerintahan Presiden BJ Habibi.
Sejak tahun 1985 ustadz Abdullah Sungkar hijrah ke Malaysia, karena menjadi buronan politik rezim Orde Baru; dan Ia menjadi muballigh keliling hingga ke Jerman dan Australia.
Pada akhir Desember 1979, tentara merah Uni Soviet menginvasi Afghanistan. Rezim penguasa Afghanistan Babrak Karmal bersekongkol dengan Uni Soviet untuk menghapus konstitusi Afghanistan dan menggantinya dengan sistem komunis.
Dunia Islam bergolak dan menunjukkan solidaritas sesama muslim. Salah seorang ulama kharismatik yang berperan besar dalam memobilisasi dana dan massa adalah ustadz Abdullah Sungkar. Untuk kepentingan ini, bersama ustadz Abu Bakar Ba'asyir, maka Abdullah sungkar mendirikan Jamaah Islamiyah (JI) pada tahun 1993.
Setelah bermukim di Malaysia selama 14 tahun. Pada 20 Oktober 1999 ustadz Abdullah Sungkar kembali ke Indonesia untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan umat Islam. Dalam suatu pertemuan di Bogor, 23 Oktober 1999, Abdullah Sungkar meninggal dunia. Ia dimakamkan keesokan harinya di desa Beku, Karang Anom, Klaten, Jawa Tengah.
Berikut ini, nasehat dakwah ustadz Abdullah Sungkar kepada ikhwan-ikhwan yang menyertainya hijrah ke Malaysia. Transkrip langsung dari caset ceramah beliau. Terjemah ayat Qur'an dalam tulisan ini, menggunakan Al-Qur'an Tarjamah Tafsiriyah Al-Ustadz Muhammad Thalib. Trimakasih pada pihak yang merintis transkrip ceramah beliau ini, dan afdhal untuk diteruskan. Wallahu a'lam.
NASEHAT DAKWAH USTADZ ABDULLAH SUNGKAR
DAKWAH, sesungguhnya adalah mengemban tugas para Rasul. Ingatkah kalian, apa tugas para Rasul? Tidak lain, menyampaikan wahyu Allah kepada umat manusia.
Ù‚ُÙ„ْ Ù‡ٰØ°ِÙ‡ٖ سَبِÙŠْÙ„ِÙŠْٓ اَدْعُÙˆْٓا اِÙ„َÙ‰ اللّٰÙ‡ِ ۗعَÙ„ٰÙ‰ بَصِÙŠْرَØ©ٍ اَÙ†َا۠ ÙˆَÙ…َÙ†ِ اتَّبَعَÙ†ِÙŠْ ۗÙˆَسُبْØٰÙ†َ اللّٰÙ‡ِ ÙˆَÙ…َآ اَÙ†َا۠ Ù…ِÙ†َ الْÙ…ُØ´ْرِÙƒِÙŠْÙ†َ
Wahai Muhammad, katakanlah: "Inilah jalanku. Aku mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dengan hujah yang benar. Aku bersama para pengikutku mengikuti agama Allah. Mahasuci Allah dan aku sama sekali tidak mau termasuk golongan kaum musyrik." (QS Yusuf (12) : 108)
Jadi, catat baik-baik anak-anakku…! Sebagai juru dakwah, tugas kalian adalah menyampaikan risalah kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia. Ingat, hanya menyampaikan, bukan yang lainnya.
Da’i bukanlah penghibur. Tugas da’i bukanlah membuat yang sedih jadi gembira, yang berduka jadi tertawa, atau yang menangis jadi meringis. Juga, tugas da’i bukan membuat yang gembira jadi bersedih, yang tertawa jadi manangis, hanya karena da’i-nya hobi menangis atau suka melawak. Tugas da’i juga bukan untuk mengajak asal rukun-damai yang tak tentu arah. Sekali lagi ingat: tugas da’i hanya menyampaikan kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya berdasarkan Qur'an dan Sunnah.
Saksikanlah para Rasul itu. Mereka orang terpilih lagi mulia, selalu jujur menyampaikan titah Rabbnya. Tak ada yang dikorupsi walau hanya satu huruf. Semua kebenaran mereka sampaikan kepada kaumnya apa adanya. Tak peduli kaumnya suka atau tidak, pro atau kontra. Selagi itu kebenaran, mereka akan selalu menyampaikannya. Bukankah, ada di antara para Nabi yang tak dapat pengikut meski telah lama berdakwah. Ada yang hanya dapat pengikut 4-9 orang. Nabi Nuh bahkan hanya mendapat pengikut belasan orang setelah berdakwah selama 950 tahun.
Apakah kalian akan mengatakan bahwa para Nabi itu tak paham metodologi dan sosiologi dakwah? Tak pandai uslub dakwah? Tak paham fikih dakwah? Tak paham psikologi masyarakat? Kalian tak akan berkata demikian bukan? Karena para Nabi adalah manusia-manusia pilihan. Mereka hanya diminta menyampaikan dan bukan mengejar jumlah pengikut. Tugas mereka hanya menyampaikan hidayatul bayan (petunjuk keterangan). Selanjutnya hidayatut taufiq (petunjuk mengikuti kebenaran) adalah urusan Allah Ta’ala.
Jadi, kalian jangan tertipu oleh da’i-da’i masa kini yang beralih profesi menjadi penghibur. Kerjanya hanya menghibur dan membuat tertawa umat. Kalian jangan tertipu meski mereka memiliki pengikut jutaan. Karena tidak sedikit dari mereka, untuk maksud memiliki pengikut banyak, menempuhnya dengan mengorupsi kebenaran. Kebenaran ditutupi-tutupi hingga tidak pernah sampai kepada umat. Kebenaran dipilih-pilih yang sesuai dengan selera umat dan yang tidak menyinggung perasaan mereka. Akhirnya umat tak pernah tahu kebenaran sejati. Kalau sudah demikian, sesungguhnya misi dakwah telah gagal. Ingat-ingat itu…! Misi dakwah telah gagal.
Anak-anakku.. ingat-ingatlah…! Kalian juga harus bisa membedakan antara tujuan dan harapan dakwah. Tujuannya adalah menjalankan kewajiban dan mencari ridha Allah semata. Harapannya adalah obyek dakwah dapat menerima dan mengikuti kebenaran. Tujuan harus diletakkan di depan baru kemudian harapan. Jangan dibalik, karena bisa berdampak negatif. Seorang yang meletakkan harapan di urutan pertama, ketika mendapati mad’u (obyek dakwah) tidak mengikuti ajakannya, akan gampang putus-asa. Kadang dia terjebak mengubah isi materi yang disesuaikan dengan selera audiens; asal mad’u senang, asal mad’u suka. Dan itulah awal kegagalan si da’i. Ingat-ingat…! Awal kegagalan si da’i.
Antara methode dan tujuan dakwah
Seorang santri bertanya kepada ustadz Abdullah Sungkar:
Santri: “Ustadz, jika demikian, bagaimana kaitannya dengan sabda Rasulullah Saw, “Ajaklah manusia bicara sesuai dengan kemampuan akal mereka?”
Beliau menjawab: "Anakku... tak ada pertentangan antara hadits di atas dengan penjelasanku. Hadits itu membicaakan methode dan bukan mengubah tujuan. Methode di sini, khususnya dalam konteks penyajian bahasa, tata cara berkomunikasi, dan tahapan penyampaian, bukan mengubah isi. Seorang da’i yang menyampaikan aqidah al-wala’ wal-bara’ (loyalitas dan anti loyalitas) misalnya, tentu penyajian untuk komunitas terpelajar brrbeda dengan komunitas awam. Bahasa untuk orang dewasa, lain pula dengan bahasa untuk anak kecil. Tetapi substansi yang disampaikan harus tetap sama, jangan dikorup apalagi dipelintir. Ingat-ingat…anakku!, banyak orang suka memelintir ayat Qur'an, termasuk dalam hal dakwah. Ayat yang terdzalimi biasanya pada An-Nahl 125;
اُدْعُ اِÙ„ٰÙ‰ سَبِÙŠْÙ„ِ رَبِّÙƒَ بِالْØِÙƒْÙ…َØ©ِ ÙˆَالْÙ…َÙˆْعِظَØ©ِ الْØَسَÙ†َØ©ِ ÙˆَجَادِÙ„ْÙ‡ُÙ…ْ بِالَّتِÙŠْ Ù‡ِÙŠَ اَØْسَÙ†ُۗ اِÙ†َّ رَبَّÙƒَ Ù‡ُÙˆَ اَعْÙ„َÙ…ُ بِÙ…َÙ†ْ ضَÙ„َّ عَÙ†ْ سَبِÙŠْÙ„ِÙ‡ٖ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ اَعْÙ„َÙ…ُ بِالْÙ…ُÙ‡ْتَدِÙŠْÙ†َ
Wahai Muhammad, ajaklah manusia kepada Islam, agama Tuhanmu, dengan hujah-hujah yang kuat, nasehat yang baik dan sanggahlah hujah lawanmu dengan hujah yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui siapa yang menyimpang dari agama-Nya, dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang mengikuti hidayah Islam. (QS An-Nahl (16) : 125)
Sebagian orang mengira bahwa hikmah di sini adalah kebijaksanaan masing-masing da’i. Tak peduli bahwa kebijaksanaan itu didasarkan pada selera dan hawa nafsu si da’i. Padahal tafsir “hikmah” di sini jelas adalah sunnah nabi; adalah perkataan yang benar lagi tegas yang dapat memisahkan antara yang haq dan yang bathil. Tafsir yang paling sederhana seperti Al-Quran terjemahan Depag RI pun mencatat hal ini.[1]
Tahukah kalian, bagaimana sunnah Nabi berdakwah? Pertama, menyeru kepada tauhid. Kedua, menjelaskan kepada umat ra’sul munkarat (biang kemungkaran) yang terjadi ketika itu. Nabi Luth misalnya, disamping mendakwahkan tauhid, beliau juga menerangkan dosa-dosa homoseksual (LGBT), karena memang itulah pokok-pokok kemungkaran yang terjadi ketika itu.
Perhatikan perjalanan dakwah para Nabi, mereka selalu menjelaskan akibat buruk kemungkaran yang dilakukan umatnya pada eranya. Jadi, seorang da’i semestinya tanggap dan menjelaskan kepada masyarakat tentang kemungkaran yang tengah mewabah. Ia harus paham kekinian umatnya. Semisal fenomena umat yang gemar tawassul dengan kuburan, suka mendatangi dukun, berjudi, melakukan praktik riba, curang dalam timbangan, melakukan kebebasan seksual, pornografi dan seterusnya. Kalau da’i tidak pernah menyinggung apalagi menjelaskan kepada umat perihal kemungkaran seperti di atas, maka selamanya kebenaran yang jadi misi Islam tak akan pernah sampai kepada masyarakat.
Anak-anakku.. ingat-ingatlah…! Kalian juga harus bisa membedakan antara tujuan dan harapan dakwah. Tujuannya adalah menjalankan kewajiban dan mencari ridha Allah semata. Harapannya adalah obyek dakwah dapat menerima dan mengikuti kebenaran. Tujuan harus diletakkan di depan baru kemudian harapan. Jangan dibalik, karena bisa berdampak negatif. Seorang da'i yang meletakkan harapan di urutan pertama, ketika mendapati mad’u (obyek dakwah) tidak mengikuti ajakannya, akan gampang putus-asa. Ada kalanya, dia terjebak mengubah isi materi yang disesuaikan dengan selera mad’u/audiens; asal mad’u senang, asal mad’u suka. Dan itulah awal kegagalan si da’i. Ingat-ingatlah…! Awal kegagalan si da’i.
Anak-anakku..! perhatikan firman Allah Swt,
ÙˆَاِØ°ْ Ù‚َالَتْ اُÙ…َّØ©ٌ Ù…ِّÙ†ْÙ‡ُÙ…ْ Ù„ِÙ…َ تَعِظُÙˆْÙ†َ Ù‚َÙˆْÙ…ًاۙ ۨاللّٰÙ‡ُ Ù…ُÙ‡ْÙ„ِÙƒُÙ‡ُÙ…ْ اَÙˆْ Ù…ُعَØ°ِّبُÙ‡ُÙ…ْ عَØ°َابًا Ø´َدِÙŠْدًاۗ Ù‚َالُÙˆْا Ù…َعْØ°ِرَØ©ً اِÙ„ٰÙ‰ رَبِّÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ„َعَÙ„َّÙ‡ُÙ…ْ ÙŠَتَّÙ‚ُÙˆْÙ†َ
Wahai Muhammad, ingatlah ketika sebagian pendeta Yahudi berkata kepada pengikutnya: "Mengapa kalian memberi nasehat kepada teman-teman kalian yang melanggar aturan Allah tentang hari Sabat? Orang-orang itu akan Allah binasakan, atau mereka akan diadzab di akhirat dengan adzab yang berat." Para pemberi nasehat itu berkata: "Kami tidak ingin disalahkan oleh Tuhan kalian kelak di akhirat. Mudah-mudahan orang-orang yang durhaka itu mau taat kepada Allah." (QS Al-A'raf (7) : 164)
Jadi, apa tujuannya? “Agar kami mempunyai hujjah”. Apa harapannya, “Supaya mereka bertakwa.” Dengan demikian, motivasi utama dakwah kita adalah menunaikan kewajiban. Ukuran kesuksesan bukanlah banyaknya pengikut tapi tertunaikannya kewajiban sesuai kehendak Allah.
Bahwa lantaran dakwah kita, lalu ada orang mengikuti ajakan kita melaksanakan ajaran Islam. Hal itu patut kita syukuri, sebagimana wasiat Rasulullah Saw kepada Ali bin Abi Thalib saat menyerahkan bendera dalam perang Khaibar.
Ketika itu, Rasulullah Saw. mengatakan, “Besok akan kuserahkan bendera perang kepada seseorang yang mencintai Allah Swt. dan Allah Swt. juga mencintainya.
“Semua sahabat bergembira akan hal tersebut. Keesokannya setelah Subuh, sahabat sudah berkumpul di depan Rasulullah Saw. berharap dirinya lah yang diserahi memegang bendera, begitu pula Umar bin Khatab duduk dengan memanjangkan lehernya (duduk tegap) agar terlihat oleh Rasulullah Saw. Umar mengatakan, demi Allah aku tidak pernah menginginkan jabatan kecuali pada hari ini.
Akan tetapi, Rasulullah Saw. dikala itu mencari Ali bin Abi Thalib dan bertanya, “dimanakah Ali?” Para sahabat menjawab bahwa Ali bin Abi Thalib sedang sakit mata dan sedang beristirahat. Rasulullah Saw. lalu memerintahkan beberapa sahabat untuk menjemputnya. Setibanya Ali bin Abi Tholib di depannya, Rasulullah Saw. menyerahkan bendera perang kepada Ali bin Abi Thalib dan berwasiat.
“Ajaklah mereka ke dalam Islam sebelum engkau memeranginya. Sebab demi Allah, seandainya Allah memberi hidayah kepada seseorang maka itu lebih baik daripada onta merah (harta bangsa Arab paling mewah waktu itu)” (HR. Muslim).
Unta merah adalah lambang harta termahal bagi bangsa Arab masa itu. Subhanallah, demikian fadhilah da’i yang berhasil mengajak satu orang kepada kebaikan, apatah lagi bisa mengajak berpuluh atau beratus orang?[]
Yogyakarta, 5/6/2022
IRFAN S. AWWAS
1 Komentar
Tantangan DAKWAH ISLAM tertulis dalam QS 61 ayat 8 : `` Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka. ". Itulah sunatulloh .
BalasHapusselalu santun dan layak dibaca