Ticker

12/recent/ticker-posts

ANTARA HIJRAH - HUDAIBIYYAH - FUTHUH MAKKAH

 Menyikapi  SEJARAH   dalam   Timbangan   SIROH  

 ANTARA   HIJRAH -  HUDAIBIYYAH  -  FUTHUH   MAKKAH

Oleh 

Nunu A Hamijaya & Suryana Nurfatwa



Bagian  Pertama 

Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu  tidak  akan  diminta (pertanggungjawaban) tentang  apa  yang  dahulu mereka kerjakan.

(QS al Baqoroh,134)

PENGANTAR

Selasa siang, kami kedatangan  tamu istimewa  dari Bandung, K.H. Drs. Suryana Nurfatwa,S.H.I, Sang  Ketua Markas Komando Pusat Pagar Aqidah (GARDAH);  Ketua DKM  Darussalaam  Cihampelas 149 Bandung yang didampingi istrinya. Kami  sudah   sering berdialog dalam beberapa  kesempatan  di Bandung. 

K.H. Drs. Suryana Nurfatwa,S.H.I,
Bersama
H. Nunu A Hamijaya

GEKSOR, kami  memberikan  pelayanan  ala Kedai  EsKaO, dengan   minuman  Teh lemon hangat dan nasi bakar ayam serundeng buatan chef Nunung.  Perbincanan kami akhirnya  berfokus pada penerbitan buku Kristologi, training Pra Nikah dan kantin Darussalam. Hasil dialog  kami berdua selama dhuzhur hingga ashar   membuahkan  tulisan dibawah ini. 

*****

Kita  tidak akan dimintakan pertangggung jawaban  atas  apa  yang  mereka  usahakan, akan tetapi kita bertanggung jawab  atas apa yang telah  kita  usahakan sebagaimana  mereka mengusahakannya dahulu! Dampak  keputusannya,  menjadi   hikmah (wisdom)  dan jejak-jejak  tapak  sujud mereka   (atsaris sujuud), yaitu  hasil karya-kerja   mereka    untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.!

Mereka itu , yaitu para syuhada yang  berjuang membela Islam ; mereka tidaklah mati dan menyaksikan para mujahidnya  melanjutkan  perjuangannya dari generasi ke generasi.  Mereka yang membela Alloh akan ditolongNya dan diteguhkan kedudukannya sebagai penguasa  di muka bumi. Mereka itu  telah memenuhi  kriteria  standar sebagai  umatan wasathon, khorio  ummah dan ummatan  wahidah.

Mereka para mujahid itu sifat-sifat utamanya telah dijelasan pla dalam Taurat dan Injil, yaitu mereka yang  bersikap keras terhadap orang-orang kafir; berkasih-sayang sesame mujahid-beriman; dan mereka meninggalkan  karya-karya terbaiknya sebagai bukti perjuangannya yang akan menjadi saksi dihadapan Alloh.

Wa lā taḥsabannallażīna qutilụ fī sabīlillāhi amwātā, bal aḥyā`un 'inda rabbihim yurzaqụn

Artinya: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.(QS Ali Imran :169)

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.

QS Muhammad : 7

Karakteristik  Mujahid  Risalah :  Terdapat pula   dalam Taurat  dan Injil

MUHAMMAD   ROSULULLOH  dan orang-orang yang bersama dengan dia BERSIKAP KERAS terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih  sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka  RUKUK  DAN SUJUD mencari  karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak  tanda-TANDA BEKAS SUJUD.  Demikianlah   sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan TUNASNYA, kemudian tunas itu semakin kuat lalu  menjadi    besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati  penanam-penanamnya karena Allah hendak MENJENGKELKAN HATI orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan  kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.(QS al Fath : 29) 

AZBABUN  NUZUL 

Perihal sebab  diturunkannya Q.S. al-Fath ayat 29, dijelaskan  bahwa ayat tersebut turun dalam situasi konfrontasi dan  ketegangan, bukan dalam kondisi damai dan tentram, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw. dihalang-halangi untuk melaksanakan ibadah haji  oleh kalangan kafir Quraisy, yang pada akhirnya kemudian melahirkan kontrak kesapakatan  damai (Sulh al-Hudaibiyyah).  

Dalam disiplin ilmu al-Qur’an terdapat   asbab an-nuzul, yaitu sebab diturunkannya ayat. Hal ini penting untuk diketahui, karena sebagaimana disebutkan dalam kaidahnya , masing-masing ayat haruslah ditempatkan dalam ranah dan proporsinya masing-masing. Sebab al-Qur’an tidaklah diturunkan dalam ruang yang hampa, melainkan berinteraksi dengan kehidupan masyarakat di saat turunnya ayat tersebut. Sehingga, tidak boleh memaksakan ayat yang turun dalam kondisi perang untuk diterapkan pada kondisi damai.

Ayat ini terdapat dalam surah al Fath. Surat Al Fath merupakan surat ke-48 dari Al Quran yang termasuk ke dalam golongan Madaniyah. Surat yang terdiri dari 29 ayat ini menceritakan tentang peristiwa Perjanjian Hudaibiyah yang ditandatangani   Nabi Muhammad Saw dan kaum musyrikin Mekah. Peristiwa ini terjadi di lembah Hudaibiyyah pinggiran kota Mekah.


PERJANJIAN    HUDAIBIYYAH

Perjanjian Hudaibiyyah ini terjadi muncul setelah upaya kaum muslimin dihalangi kamu musyrikin saat hendak beribadah umroh di Mekah. Tindakan kaum musyrikin itulah yang membuat Rasulullah Saw mengajak negosiasi dengan membuat perjanjian Hudaibiyah.Arti surat Al Fath adalah kemenangan seperti yang tertera pada ayat pertama dari isi Quran tersebut. Surat Al Fath turun sebagai berita gembira umat Muslim atas kemenangannya berhasil menaklukkan kota Mekkah.

Perjanjian Hudaibiyah  mengesahkan bahwa Islam adalah agama yang damai dan tidak disiarkan dengan peperangan atau dengan ketahanan politik. Islam sebagai  agama yang diterima oleh perseorangan dan masyarakat, justru diterima secara sukarela, berkembang tanpa adanya paksaan serta dalam keadaan aman dan damai. 

Perjanjian Hudaibiyah adalah suatu keberhasilan yang sangat aktual. Sejarah   pun mencatat bahwa substansi perjanjian ini adalah suatu keputusan politik yang  cermat dan tinjauan yang jauh serta memiliki pengaruh  besar  terhadap masa depan Islam dan masa depan semua orang Arab. 

Peristiwa ini merupakan awal dari pihak   Quraisy mengakui Muhammad, BUKAN SEBAGAI PEMBERONTAK terhadap mereka melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah sekaligus  mengakui pula berdiri dan adanya kedaulatan Islam. Kemudian suatu pembenaranbahwa umat Islam memiliki hak untuk berziarah ke Ka’bah serta melakukan ibadah   haji, suatu pembenaran pula dari kamu Musyrik Quraisy  bahwa Islam adalah agamayang sah dan diakui sebagai salah satu agama di Jazirah Arab.


Perjanjian Hudaibiyah 

Terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 H (Maret 628 M) para sejarawan ada yang menyebutnya Amru al-Hudaibiyyah, Qissah al-Hudaibiyyah, ‘Umrah al-Hudaibiyyah, Sulh al-Hudaibiyyah, dan Gazwah al-Hudaibiyyah, menurut sudut pandang yang mereka gunakan dalam melihat peristiwa tersebut, tempat, waktunya, para pelaku yang terlibat, dan hasil atau tujuan yang hendak dicapai.

Dilatarbelakangi oleh mimpi Rasulullah saw. memasuki kota Makkah dan ṭawaf mengitari Baitullah al-Haram.  Mimpi tersebut menjadi basic design strategi untuk mendapatkan legitimasi hak beribadah di Baitullah al-Haram dalam bentuk pelaksanaan ibadah umrah. Hijrah Nabi telah mengubah konstelasi tantangan dan tekanan terhadap dakwah yang sebelumnya bersifat internal Quraisy  menjadi eksternal. 

Dari sebelumnya berbentuk  local social movement di Makkah menjadi  regional military action di Jazirah Arab. Sebanyak tiga kali aksi militer dilancarkan oleh pihak musyrikin  Quraisy dalam upaya menekan perkembangan  geopolitik Islam: front Badar pada tahun ke-2 H (624 M) sebagai economical security action, front Uhud tahun ke-3 H (625 M),14 dan front Parit (khandaq) pada tahun ke-5 H (627 M)


Isi Perjanjian Hudaibiyah

1. Kedua belah pihak bersedia menghentikan gencatan senjata selama 10 tahun.

2. Setiap orang diberi kebebasan untuk memilih menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW atau menjadi bagian dari kaum kafir Quraisy.

3. Kaum muslimin wajib untuk mengembalikan orang Makkah yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW di Madinah tanpa alasan yang benar kepada walinya, sedangkan kaum kafir Quraisy tidak wajib mengembalikan orang Madinah yang menjadi pengikut mereka.

4. Kunjungan rombongan umat Islam untuk menunaikan ibadah haji ditangguhkan pada tahun berikutnya. Lama kunjungan paling lama adalah 3 hari dan tidak diperbolehkan membawa senjata.

Masih dalam buku yang sama, setelah adanya Perjanjian Hudaibiyah tersebut akhirnya situasi menjadi aman dan tidak ada peperangan. Bahkan, pengikut Nabi Muhammad SAW yang pada awalnya hanya berjumlah 1.400 orang bertambah menjadi hampir 10.000 orang.

Pada awalnya, para sahabat Nabi SAW tidak menyetujui isi Perjanjian Hudaibiyah karena dianggap merugikan umat Islam. Namun, Nabi Muhammad SAW menyikapi perjanjian Hudaibiyah dengan sangat arif bahkan memanfaatkan situasi aman dan damai.

Beliau mengirimkan duta-dutanya ke negara tetangga untuk memeluk agama Islam, meskipun tak semua menerima tapi dengan dikirimnya duta tersebut menambah jumlah pengikut Nabi Muhammad SAW.


Hikmah Dibuatnya Perjanjian Hudaibiyah

Secara lebih jelas lagi hikmah terjadinya perjanjian Hudaibiyah ini juga disampaikan dalam buku Islam Agama Perdamaian: Pelajaran dari Perjanjian Hudaibiyah karya Ahmad Sarwat.

 Berikut ini penjelasannya:

1. Dampak ekonomis, dari perjanjian ini membuat perang yang sudah lama berlangsung tiba-tiba berubah jadi damai dan aman, setidaknya selama 10 tahun ke depan semenjak perjanjian tersebut disepakati. Selain itu, biaya perang yang teramat besar juga dapat dialokasikan untuk pengembangan perekonomian di Madinah serta biaya dakwah dan penyebaran agama Islam di banyak wilayah.

2. Menghentikan korban jiwa, dari perjanjian tersebut nyawa para sahabat Nabi SAW yang tiap saat mati syahid jadi lebih dihargai. Tidak ada lagi seorang istri yang janda dan tidak ada lagi anak yatim tanpa pengasuhan orang tua. Jihad sudah tidak lagi harus mengorbankan nyawa namun bisa juga melalui dakwah dan keilmuan

3. Kesempatan dakwah, ini tentu saja menjadi kesempatan emas karena sudah tidak ada lagi perang terjadi. Wilayah dakwah jadi lebih luas dan merata ke seluruh Jazirah Arabia tanpa terkecuali.

4. Dakwah Mancanegara, sejak saat itu Nabi SAW mulai lebih bisa berkonsentrasi untuk memikirkan penyebaran dakwah ke seluruh penjuru dunia.

5. Kesempatan mendapat Hidayah, para musuh dakwah Rasulullah SAW justru sering untuk menghadiri berbagai majelis dakwah, untuk kemudian merenungi prinsip-prinsip ajaran Islam yang selama ini mereka tentang. Tentu hal ini menjadi hikmah yang sangat positif dari perjanjian Hudaibiyah tersebut.


Tafsir  ASSYIDAu  ALAL KUFFAR

Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ}

maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir. (Al-Maidah: 54)

Inilah sifat orang-orang mukmin, seseorang dari mereka bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi lemah lembut terhadap sesamanya lagi kasih sayang. Dia bersikap pemarah dan bermuka masam di hadapan orang-orang kafir, tetapi murah senyum dan murah tertawa di hadapan orang-orang mukmin saudara seimannya.

 Seperti yang disebutkan dalam firman Allah Swt.:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً}

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan darimu, (At-Taubah: 123)

شِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ (adalah keras terhadap orang-orang kafir)

Kata أشداء (asyiddaa’) adalah bentuk jamak dari شديد (syadiid). Asal kata أشداء (asyiddaa’) adalah أشدداء (Asydidaa’). di situ ada dua huruf dal yang berharakat. Kemudian salah satunya digabungkan ke yang lain maka jadi bertasydid. Ini sama dengan yang terdapat pada kata يرتد (yartadda) yang ada pada surat al Maaidah ayat 54.

Maksudnya bersikap keras terhadap mereka sebagaimana seekor singa yang memperlakukan mangsanya. (Zubdatut Tafsiir min Fathil Qadiir).

Bahkan asyidda’u ala al-kuffar pada ayat tersebut digunakan dalam konteks peperangan dan penegakan sanksi hukum yang dibenarkan agama, hal ini juga senada dengan mufassir kontemporer Wahbah Zuhaili yang ditulis dalam karyanya kitab Tafsir al-Munir.

Berdasarkan kitab Ashabu Nuzulil Qur’an karya Abi al-Hasan Ali al-Wahidi menjelaskan bahwa ketika Nabi Saw berada di Makkah, jihad tidak menggunakan jalan kekerasan sama sekali meski perlakuan kafir Quraisy terhadap umat Islam sangat luar biasa. Namun, pada saat itu belum ada perintah untuk peperangan dari Allah. Setelah ada perintah dari Allah, maka Rasulullah baru melakukan strategi peperangan.

Kedai EsKao,  9 Mei  2023

Posting Komentar

0 Komentar