Ticker

12/recent/ticker-posts

PEMBANGUNAN PATUNG HARAM DAN TIDAK MENGUNTUNGKAN RAKYAT

Bandung, satunusainfonesia.com

Buletin Kaffah Edisi 307 (08 Safar 1445 H/25 Agustus 2023 M)

Rencana pembangunan Patung Soekarno setinggi 100 meter di Kabupaten Bandung menuai kontroversi. Patung yang rencananya dibangun bersama dengan pengembangan kawasan wisata dan Kotabaru/Kota Mandiri (Taman Asia Afrika) diperkirakan menelan biaya Rp 20 triliun. Bupati Bandung Hengki Kurniawan menyatakan biaya besar itu tidak ditanggung oleh APBD, tetapi murni investasi dari pihak luar, yakni konsorsium Ciputra dan PTPN VIII, sehingga harus dibantu perizinannya.


Sejumlah pihak, seperti MUI bersama tokoh-tokoh Islam, mengkritik rencana pembangunan patung tersebut. Selain bertentangan dengan hukum Islam, biaya yang besar itu dipandang sia-sia di tengah masyarakat yang sedang kesusahan.

Haram Membuat Patung

Dalam bahasa Arab aktivitas menggambar sesuatu disebut tashwîr. Tashwîr tak hanya mencakup aktivitas menggambar dua dimensi, atau tidak memiliki bayangan, tetapi juga termasuk aktivitas membuat patung (at-timtsâl) dan pahatan (an-nahtu). 

Syariah Islam telah mengharamkan aktivitas tashwîr, yakni menggambar, memahat juga membuat patung setiap makhluk bernyawa. Apakah itu dibuat di atas kertas, kulit, tembok, koin, dsb. Sama saja. Keharaman ini berdasarkan sejumlah hadis Nabi saw. Di antaranya:

كُلُّ ‌مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يُجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسٌ تُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ فَإِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ فَاعِلًا، فَاجْعَلِ ‌الشَّجَرَ وَمَا لَا نَفْسَ لَهُ

Setiap tukang gambar kelak ada di neraka. Setiap gambar yang dia buat akan diberi jiwa yang akan mengazab dirinya di Neraka Jahanam. Karena itu jika kamu terpaksa harus menggambar, gambarlah pohon dan apa saja yang tidak memiliki jiwa (HR Ahmad).

Rasulullah saw. juga bersabda:

إِنَّ الَّذِيْنَ يَصْنَعُوْنَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

Sungguh orang-orang yang membuat gambar-gambar (makhluk bernyawa) ini akan diazab pada Hari Kiamat dan akan dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian buat ini! (HR al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah saw. pun pernah memerintahkan Ali bin Abi Thalib ra. dalam satu ekspedisi militer untuk menghancurkan patung-patung yang ia temui:

لاَ تَذَرْ تِمْثَالاً إِلاَّ هَدَمْتَهُ، وَ لاَ صُورَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا، وَ لاَ قَبْراً مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَيْتَهُ

Janganlah engkau tinggalkan patung kecuali engkau hancurkan. Janganlah engkau tinggalkan gambar kecuali engkau hapus. Janganlah engkau tinggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan (HR Muslim).

Masih banyak lagi hadis-hadis yang menunjukkan keharaman aktivitas menggambar, memahat dan membuat patung makhluk bernyawa; baik manusia atau hewan yang utuh maupun separuh. Ini karena hadis-hadis tersebut bersifat umum.

Atas dasar itu para ulama pun telah mengharamkan aktivitas membuat patung dan lukisan makhluk bernyawa. Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, menyimpulkan bahwa para ulama bersepakat atas keharaman membuat gambar dan patung makhluk bernyawa, baik hewan maupun manusia, juga haram meletakkannya di mana pun (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 2/2674, Maktabah Syamilah).

Keharaman membuat lukisan dan patung tidak berdasarkan pada ‘illat tertentu, misalnya karena kekhawatiran disembah sebagaimana prasangka sebagian orang. Lalu ada pendapat yang menghalalkan membuat lukisan dan patung makhluk bernyawa jika bukan bertujuan untuk disembah atau dikultuskan. Tentu tidak demikian. Sebabnya, hadis-hadis Nabi saw. yang menjelaskan keharaman membuat lukisan atau patung makhluk bernyawa tidak dikaitkan dengan adanya unsur penyembahan ataukah tidak.

Sebagian pendapat menyatakan kebolehan membuat patung didasarkan pada hadis yang menyebutkan Nabi saw. pernah membiarkan Aisyah ra. bermain boneka bersama-sama kawannya. Pendapat ini tidak tepat. Alasannya, karena yang digunakan oleh Aisyah adalah boneka yang dijadikan mainan anak-anak. Qadhi Fudail bin Iyadh mengecualikan boneka dalam mainan anak-anak perempuan, yakni ada rukhshah untuk itu (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 4/2674, Maktabah Syamilah).

Imam an-Nawawi juga menjelaskan tentang pengkhususan dalil boneka sehingga hukumnya boleh (An-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, XVI/200).

Haram Mengkultuskan Seseorang

Sesungguhnya membuat patung-patung makhluk bernyawa, khususnya patung para pahlawan atau para tokoh, bukan budaya kaum Muslim. Itu adalah tradisi orang-orang kafir. Dulu bangsa-bangsa seperti Mesir, Romawi, dll biasa membuat patung para raja, tokoh atau pahlawan sebagai bentuk pengkultusan kepada mereka. Pada zaman modern, beberapa negara, seperti Uni Soviet dulu, membuat patung-patung tokoh mereka untuk dikultuskan oleh rakyatnya. Tentang hal ini, Allah SWT berfirman:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

Mereka berkata, “Janganlah kalian sekali-kali meninggalkan sesembahan-sesembahan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr.” (TQS Nuh [71]: 23).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa ayat ini berkaitan dengan umat Nabi Nuh as. yang biasa membuat patung-patung orang-orang salih di antara mereka untuk mengenang mereka sekaligus memberi nama patung-patung tersebut. Lama-kelamaan mereka menyembah patung-patung itu.

Karena itu budaya membuat patung makhluk bernyawa dengan tujuan mengenang dan memuliakan orang-orang terdahulu termasuk tasyabbuh terhadap orang kafir. Nabi saw. telah mengharamkan hal itu:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka (HR Ahmad).

Syariah Islam juga melarang pengkultusan kepada seseorang sekalipun mereka adalah ulama, pahlawan atau khalifah. Kaum Yahudi dan Nasrani adalah kaum yang berlebih-lebihan dalam menghormati dan memuliakan para nabi. Karena itu Rasulullah saw. mengingatkan kaum Muslim agar tidak melakukan hal yang serupa. Sabda beliau:

لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian melampaui batas dalam memuji diriku seperti perbuatan kaum Nasrani kepada Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba-Nya. Karena itu panggillah oleh kalian (aku ini), “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari).

Jelas, Rasulullah saw. telah menolak dan melarang diri beliau dikultuskan oleh umat beliau. Padahal beliau adalah sosok yang ma’shûm (terpelihara dari dosa dan kesalahan), mendapatkan pujian dari Allah SWT, pemilik syafaat pada Hari Akhir. Lalu apakah pantas manusia biasa dikultuskan oleh sesama manusia? Apalagi jika yang dikultuskan adalah pelaku kemungkaran dan kemaksiatan.

Pengkultusan juga berbahaya karena akan membuat para pengikutnya menutup mata dari dosa-dosa dan kesalahan pihak yang dikultuskan. Bagi mereka, tokoh yang dikultuskan adalah sakral dan wajib dibela. Apapun perbuatannya. Apalagi jika tokoh yang dikultuskan itu, misalnya, membawa pemikiran yang batil seperti paham sosialisme-komunisme dan memusuhi Islam. Ini makin berbahaya bagi umat. Sebabnya, ini akan membuat umat bukan saja mengkultuskan figur tokoh tertentu, tetapi juga membenarkan pemikiran batilnya itu.

Rakyat Tidak Butuh

Pembangunan patung serta kota mandiri yang diperkirakan menelan biaya Rp 10 triliun sampai Rp 20 triliun juga perlu dipertanyakan manfaatnya untuk rakyat. Jangan-jangan ini hanya untuk ambisi politik kelompok tertentu dan keuntungan oligarki. Pembangunan patung itu juga seolah-olah menafikan peran para pahlawan lain yang tak kalah berjasa melawan penjajahan. 

Apalagi pembangunan kota mandiri yang semakin marak di Indonesia terbukti hanya menjadi kawasan elitis yang dinikmati oleh segelintir orang. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Andrinof Chaniago pernah menyindir kota mandiri cenderung diskriminatif karena hanya dimiliki oleh masyarakat berkantong tebal. Sering terjadi ketimpangan sosial dan ekonomi yang tinggi antara kawasan kota mandiri dan masyarakat di luarnya.

Padahal hari ini menurut Bank Dunia ada 40% warga miskin di Indonesia, ada 81 juta warga milenial tidak punya rumah, juga ada 20 juta warga tinggal di kediaman tidak layak huni. Rakyat Indonesia terutama di pelosok juga masih kekurangan layanan kesehatan yang memadai. Ada 171 kecamatan di Indonesia belum punya puskesmas. Ada 586 puskesmas belum memiliki dokter. Sementara itu, dari 18.206 desa yang berada di daerah tertinggal, 34 persen di antaranya masih belum memiliki akses jalan yang baik.

Amat miris jika negeri Indonesia yang mayoritas Muslim ini justru warga dan pemerintahnya gemar membangun patung yang jelas telah diharamkan oleh syariah Islam. Apalagi biayanya amat besar, sementara manfaatnya sekadar untuk estetika belaka. Padahal puluhan juta rakyat membutuhkan sarana dan prasarana untuk menunjang kehidupan sehari-hari.

Khatimah

Allah SWT mengingatkan kita dengan kaum ‘Ad yang gemar membangun proyek-proyek raksasa untuk mereka banggakan. Lalu mereka berani membangkang kepada Allah serta para nabi dan rasul yang Dia utus. Akibatnya, Allah SWT membinasakan mereka.

أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ آيَةً تَعْبَثُونَ . وَتَتَّخِذُونَ مَصَانِعَ لَعَلَّكُمْ تَخْلُدُونَ 

Apakah kalian mendirikan istana-istana pada setiap tanah yang tinggi untuk kemegahan tanpa ditempati? Juga apakah kalian membuat benteng-benteng dengan harapan kalian hidup kekal? (TQS asy-Syu’ara [26]: 128-129). 

Cukuplah kisah kaum ‘Ad dan Tsamud menjadi pelajaran bagi kita. Jangan sampai kita seperti mereka: bangga dengan bangunan megah dan patung-patung, lalu membangkang pada hukum-hukum Allah, kemudian Allah mengazab kita. Wal ‘iyyâdzu bilLâh! []

---*---

Hikmah:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Lalu mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu. Karena itu sepantasnya berlaku atas mereka perkataan (hukuman Kami). Kemudian Kami membinasakan negeri itu sehancur-hancurnya (TQS al-Isra’ [17]: 16).

Posting Komentar

0 Komentar