Ticker

12/recent/ticker-posts

Peran Politik Mr. Sjafrudin Prawiranegara (1947-1948)

Peran Politik Mr. Sjafrudin Prawiranegara (1947-1948)
PDRI : Soekarno dan Belanda Tak Mengakuinya
Oleh
Nunu A Hamijaya

“Belanda berhasil menawan Presiden dan Wakil Presiden, Perdana Menteri dan beberapa pembesar lain dan mengira dengan ditawannya pemimpin tertinggi, menyebabkan aparatur negara putus asa. Negara Republik Indonesia tidak hanya Soekarno-Hatta, sekalipun keduanya merupakan pemimpin. Hilangnya Soekarno-Hatta, sementara atau selamanya, rakyat Indonesia tetap menghadirkan pemerintahan baru”

Penting, latarbelakang PDRI dibentuk sebuah momen bersejarah tentang paradok-nya sosok Soekarno sebagai pemimpin nasional antara dua hari sebelum dan di saat detik-detik Agresi Militer II membombardir Yogyakarta.

Soekarno : Menyerah Mengibarkan Bendera Putih

Penuturan George McT Kahin, seorang mahasiswa Amerika yang saat itu berada di Yogya untuk keperluan riset disertasinya. Ia benar-benar mengenal detak jantung rakyatnya dan “tidak dapat ditandingi oleh pemimpin mana pun juga“, tulis Kahin dalam sebuah risalahnya (1986).

Ucapan Bung Karno yang paling berkesan waktu itu, hingga sering dikutip-kutip koran dan itu diulanginya lagi lewat radio dan terakhir dalam pidatonya dua hari sebelum aksi militer Belanda ialah,

“Jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan menduduki Yogyakarta, tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan bangkit berjuang dan saya sendiri akan memimpin perang gerilya.” (Merdeka, 29 Mei 1948)

Namun, apa yang terjadi kemudian ialah sebuah kekecewaan. Ketika Yogya diserang, Soekarno dan pemimpin Republik merencanakan tetap tinggal di dalam kota, artinya menyerah kepada Belanda.

Reaksi dari kalangan militer, terutama di kalangan para perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk ikut bergerilya bersama mereka, telah menimbulkan rasa kecewa yang dalam. Bahkan, perintah yang dikeluarkan Hatta, pada saat-saat terakhir menjelang kejatuhan Yogyakarta, agar perjuangan diteruskan, tidak lagi mampu memulihkan rasa hormat tentara terhadap pemimpin sipil mereka. Peristiwa di atas, menurut Ulf Sundhaussen (1982) merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia.

Dalam biografi Soekarno yang ditulis CINDY ADAMS, pertemuan Soekarno dan SOEDIRMAN itu dilukiskan dengan dramatis.

"Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan pelarianku. Aku harus tinggal di sini dan mungkin bisa berunding untuk kita serta memimpin rakyat kita."

Soekarno bermaksud BERUNDING dalam statusnya sebagai TAWANAN pihak musuh ! Bagaimana mungkin jalan pikiran seorang negarawan, politisi, atau……Dan anehnya, BELANDA dalam beberapa waktu kemudian menerima Soekarno dalam status ganda, sebagai TAWANAN sekaligus PRESIDEN ? Apakah ini sebuah sandiwara atau sinetron dagelan politik ?

Sekitar pukul 11.00 WIB, pasukan baret hijau Belanda bergerak memasuki kota. Tujuan mereka menangkap Soekarno-Hatta dan para pejabat RI lain.

Tak butuh waktu lama untuk mencapai Istana Negara. Pertahanan TNI yang tersisa terlalu lemah untuk menghentikan gerak maju pasukan komando Belanda pimpinan Letkol Van Beek. Demikian ditulis dalam buku Doorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour terbitan Kompas.

Overste Van Beek memberi hormat.

"U staat onder huisarrest." Artinya anda sekarang menjadi tahanan rumah. Saat itu tentara Belanda juga menahan Mohammad Hatta, dan hampir seluruh menteri RI.

Eksistensi PDRI Ditolak Soekarno-Belanda : Bagaimana mungkin ?

Pemerintah darurat adalah sebuah pemerintahan yang pernah terjadi di Indonesia sekitar 8 (delapan) bulan lebih kurang, yaitu tanggal 19 Desember 1948-13 Juli 1949. Presiden Sukarno, Wakil Presiden M. Hatta, dan beberapa petinggi negara lainnya ditangkap Belanda sebagai akibat dari aksi militer Belanda kedua. Yogyakarta diduduki, Bukittinggi diserang, dan Lubuk Linggau pun tidak luput dari penyerangan tersebut. Kondisi darurat tersebut membuat Indonesia dalam keadaan “koma”

Dapatkah orang membayangkan sebuah Republik yang sedang panik tanpa PDRI? Bagaimanapun dalam konteks hukum tata negara pimpinan PDRI (Mr. Sjafruddin Prawiranegara) berhak disebut sebagai Presiden RI Yogyakarta menggantikan Soekarno yang menyerahkan dirinya sebagai tawanan.

Berakhirnya PDRI ini berkaitan erat dengan perundingan Roem-Roijen. Terjadinya perundingan tersebut jelas-jelas penafikan peran PDRI. Belanda sendiri lebih memilih berunding dengan Soekarno dan Moh. Hatta yang saat itu masih menjadi tawanan Belanda. Sisi tersebut semakin kentara bahwa eksistensi PDRI tidak mendapat pengakuan dari Belanda. Bagaimana, status tawanan tanpa jabatan sebagai Presiden kemudian diperlakukan ‘sebagai Presiden’ oleh pihak Belanda dalam memutuskan kebijakan politik luar negeri ?

Ditambah lagi dari pihak Soekarno dan Moh.Hatta tidak pernah ada usaha untuk menghubungi PDRI terlebih dahulu, ataupun ungkapan pernyataan yang membuktikan bahwa mereka tetap menghargai orang yang mereka amanati.

Bahkan Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1950- setelah Sjafruddin baru saja menyerahkan mandat kepadanya bulan Juli 1949 sebagai Ketua PDRI sama sekali tidak menyebut PDRI dan pemimpinnya, padahal pemerintahan gerilya selama tujuh bulan yang kritis ini adalah penyelamat Republik Indonesia setelah Sukarno-Hatta ditangkap Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 di istana Yogyakarta.

Realitas sejarah membuktikan akhirnya pada tanggal 14 April 1949 perjanjian Vaan-Royen dilaksanakan atas persetujuan Sukarno yang berada dalam tahanan Belanda. Walaupun perjanjian tersebut menuai reaksi dari para pendukung Republik dan terlebih PDRI. Hasil kesepakatan ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949.

Sejatinya, saat perundingan, Mr. M.Roem dalam status tawanan Belanda, sehingga secara hukum internasional tidaklah berhak, namun dirinya menerima penunjukkannya sebagai wakil delegasi pilihan Soekarno dalam Perjanjian Roem-Roijen.

Hakikatnya keputusan perundingan tersebut tidak sah. Keputusan Soekarno yang demikian tidak menghargai samasekali keberadaan Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua/ Presiden PDRI saat Indonesia benar-benar sedang terombang-ambing atas perlakuan Belanda yang ingin berkuasa kembali.

Namun, dengan kharismanya, Soekarno mampu membujuk M. Natsir menemui Sjafrudin agar mau menyerahkan kekuasaanya sebagai Ketua PDRI. Sungguh, aneh jalan pikiran Soekarno. Bukankah, Soekarno tidak menganggap eksistensi PDRI dengan keputusan-keputusan politiknya, padahal dirinya dalam status tawanan?

Pasca penyerahan mandatnya sebagai Ketua PDRI, dalam perkembangan politik nasional berikutnya dirinya terlibat dalam PRRI dengan menjabat sebagai Perdana Menteri-nya. Setelah terjadinya penumpasan PRRI sebagai pemberotakan yang paling menakutkan bagi Soekarno, maka sebagai Presiden, Soekarno menetapkan dan mengundangkan Keppres no. 449/1961 memutuskan untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada individu yang dianggap memberontak. Ketika Republik Persatuan Indonesia diproklamirkan pada 8 Februari 1960, Sjafruddin dipilih sebagai presiden pertama (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no. 10).

Hal itu ditanggapi Sjafruddin pada 17 Agustus 1961 dengan mengeluarkan instruksi kepada seluruh awak RPI untuk menghentikan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indoensia (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.6). Kemudian Sjafruddin juga meyerahkan seluruh harta kekayaan RPI kepada pemerintah Republik Indonesia sebagai kekyaan negara. Meskipun sudah menyerah dan menerima abolisi Sjafruddin dan teman-temannya mengalami karantina politik PRRI/RPI. Pada awal tahun 1962, Sjafruddin dan teman-temannya dibawa dari Padang Sidempuan ke Jakarta, selanjutnya dibawa ke Cipayung, Bogor. Di sana mereka ditampung di beberapa rumah. Mereka dibiarakan bebas bergerak, tapi tidak diperkenankan meninggalkan kota kecil itu tanpa izin (Rosidi, 2011: 227-345).

Kampus ADI, 29/8/2023

Posting Komentar

0 Komentar