TAFSIR ATAS Teks Proklamasi NIIRepublik - al Jumhuriyyah yang SebenarmyaOlehNunu A Hamijaya
Teks Proklamasi NII, dimulai dengan lafaz BASMALAH. Selanjutnya, adalah lafaz kalimah syahadat. ASYHADU LLA ILAA ILLOH WA ASYHADU ANLA MUHAMMADAROSULLULOH. Yang menyatakan, proklamasi tentang berdirinya negara, bernama NEGARA ISLAM INDONESIA tersebut adalah UMAT ISLAM BANGSA INDONESIA. Sedangkan hukum yang berlaku atas negara adalah HUKUM ISLAM. Teks proklamasi ditutup dengan adanya IMAM sebagai kepala negara NII.Teks Proklamasi NII ini memberikan banyak informasi akurat tentang apa dan bagaimana sebuah negara (islamic state) dijalankan,sehingga tidak meragukan bagi siapapun untuk memahami isinya,karena tidak akan menimbulkan multi tafsir dikemudia hari
Pertanyaan pertama adalah siapa yang menyatakan proklamasi tersebut?
Menurut teks tersebut ada dua pihak, yang pertama adalah Umat Islam Bangsa Indonesia; kedua, adalah Imam NII sebagai personal yang bertanggungjawab mengatasnamakan pihak selain dirinya, namun bagian dari mereka, yaitu umat islam bangsa Indonesia. Dalam hal ini, telah terjadi tindakan ‘mengatasnamakan’ suatu komunitas publik dan sejauh hal ini merupakan tindakan politik dan hukum dapat diterima. Untuk itu, kita akan jelaskan adalah siapakah pihak umat islam bangsa Indonesia .
Sebagai bahan perbandingan, dalam Shuhuf Madinah, terdapat istilah baru yang tidak dapat digantikan namanya dalam bahasa apapun, yaitu Umat. Istilah umat ini pun muncul di dalam al Quran , baik secara mandiri maupun dilengkapi dengan istilah lain, seperti ‘ummatan wahidah, ‘umatan wasaton’, atau ‘khoiro ummah.’
Jadi, bukan domain ‘nasionalisme’ atau ‘ashobiyah’ sebagaimana dikenal dalam konsep Barat atau penafsir lainnya. Nation umpamanya, berasal dari kata naitre yang berarti lahir. Jadi istilah itu mengandung pengertian tentang ikatan alami, disucikan dan nyata kehadirannya, seperti ikatan kekerabatan, kesatuan darah atau keturunan dan ras. Sebagai bahan perbandingan, bahwa Kekhilafahan Turki Othoman’, disebut demikian karena pertamakali kerajaan kekhilafahan (monarchi islam) itu berdiri di wilayah Turki dengan ibukotanya di Istanbul.
Frasa ‘’Bangsa Indonesia” bukan Ashobiyyah
Di dalam teks proklamasi NII, terdapat frasa “Bangsa Indonesia”, yang disalahtafsirkan sebagian bentuk ashobiyyah , tidak universal yang mencakp bangsa-bangsa lain, seperti Arab, India, China, atau Turki. Tentu saja, frasa ‘bangsa Indonesia’ tidak berkaitan dengan makna ashobiyyah. Perhatikan penjelasan berikut ini,
Secara etimologi kata ‘ashabiyyah berasal dari kata ‘ashabah yang bermakna al-‘aqaarib min jihat al-ab (kerabat dari bapak). Disebut demikian dikarenakan orang-orang Arab biasa menasabkan diri mereka kepada bapak (ayah), dan ayahlah yang memimpin mereka, sekaligus melindungi mereka. Adapun kata “al-‘ashabiyyah dan at-ta’ashshub” bermakna "al-muhaamat wa al-mudaafa’at” (saling menjaga dan melindungi). Jika dinyatakan, “ta’ashshabnaa lahu wa ma’ahu” : nasharnaahu (kami menolongnya)”. [Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 1/602].
Ada beberapa kata yang berkaitan dengan kata ‘ashabiyah, diantaranya adalah dari kata ‘ashabah (kerabat dari bapak), al-‘Ashabiyah (fanatik golongan), ta’ashub (fanatik buta), ta’ashaba (pengencangan pembalut, dapat juga berarti perkumpulan atau ikatan). Di dalam literatur Hadits dan beberapa pendapat alim ulama, kata ‘ashabiyah bermakna kepada menolong kaum kerabat atas dasar kedzaliman.
Dalam teks Proklamasi NII, kita akan mendapatkan suatu konsep tentang bagaimana relasi antara ‘negara’ dan umat. Negara ini ( baca : NII) berdiri oleh adanya komitmen politik dari umat islam bangsa Indonesia dibawah kepemimpinan seorang imam. Komitmen politik tersebut tidak lahir secara instan, namun dalam suatu dinamika perjalanan sejarah Islam Bernegara yang bermula dari adanya Kehendak Berpemerintahah Sendiri (Zelfbestuur) yang diproklamasikan oleh O.S. Tjokroaminoto pada NATICO I (17 – 24 Juni 1916), sebuah kongres national ‘pribumi muslim Hindia Belanda’ yang berasal dari berbagai wilayah, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Kepulauan Maluku.
Pribumi muslim inilah yang merupakan embrional dari ‘umat islam bangsa Indonesia’. Setelah melewati komitmen Sikap Hidjrah (1936),maka umat islam (bangsa) Indonesia, dengan beberapa perwakilan tokoh ulama,milite, masyarakat mengadakan konferensi Tjisajong (1948), hingga dicetiskannya sebuah Proklamasi NII, pada 7 Agustus 1949.
Posisi ‘umat islam bangsa Indonesia’ bagi suatu proklamasi sebuah negara bernama NII merupakan salah satu sumber kekuasaan yang dibutuhkan oleh pemerintahan. Posisinya merupakan aspek LEGITIMASI. Legitimasi berarti suatu aturan yang menyangkut keabsahan atau mengandung pengakuan secara formal dan merupakan kualitas otoritas yang dianggap benar atau sah. Kata legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Oleh karena itu, secara sederhana, legalitas adalah kesesuaian perilaku dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (peraturan perundang-undangan formal, moral, adat dan sosial yang ditetapkan undang-undang sejak lama).
Dengan demikian, LEGAL STANDING atau legitimasi sangat dibutuhkan untuk meneguhkan komponen-komponen sistem perpolitikan yang ada. Setidaknya ada lima objek yang memerlukan legitimasi agar sistem politik tetap berjalan dan berfungsi. Kelima objek legitimasi tersebut, yakni: masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik, dan kebijakan. Umat Islam Bangsa Indonesia adalah komponen masyarakat politik.
Sedangkan, Proklamasi merupakan ‘pernyataan politik dan hukum’ tertinggi di luar konstitusi yang mereprestasikan suatu ‘kehendak berpemerintahan sendiri’ .
Merujuk kepada penjelasan al Quran di atas, bahwa entitas ‘umat islam bangsa Indonesia’ yang telah menyatakan dirinya suatu proklamasi untuk mendirikan Negara Islam Indonesia merupakan suatu kelompok yang memimpin, kelompok opinion leader (ummah yahdûna bi al-haq), (QS. al-‘Araf: 181). Maka, entitas Umat Islam Bangsa Indonesia ini bertumbuhkembang secara dinamis meningkat pada level menjadi ‘umatan wahidah’, ummatan wasathon, dan hoiron ummah. Hal ini akan menjadi suatu kenyataan apabila konteks umat tersebut disandingkan dalam kerangka Islam Bernegara dalam wujud entitas bernama ‘negara islam’ Indonesia.
Makna ‘JUMHURIYYAH’ bukan REPUBLIK model BARAT MODERN
Dalam penjelasan tentang bentuk negara adalah jumhuriiyyah, sering dipadankan sebagai ‘republik’ sebagaimana yang dikenal dalam literatur politik Barat. Yaitu diambil dari kata res dan publica. Sedangkan ‘jumhuriyyah’ adalah Bahasa Arab yang berarti urusan umum. IBNU RUSYDI menggunakan konsep kenegaraan bernama dengan “Al-Jumhuriyah wa al-Ahkam” (Republik dan Hukum).Jumhuriyyah berlandaskan Syariah Islam. Itulah sejatinya al jumhuriyyah yang dimaksudkan sepadan dengan makna republic sebagaimana sejarahnya berikut ini.
Res publica, urusan umum. Tentang tatamodel sistem pemerintahan. Kosakata ‘republik’ menjelma pada masa Romawi. Disebut dalam Al Quran: ARRUM. Konsep republik dari kata ‘res publica’ ini melanglang jauh dari Plato. Lalu sempat didengungkan Cicero di masa Romawi. Kemudian dilambungkan lagi Jean Bodin di era abad pertengahan. Mereka bertiga yang pernah menyuarakan ‘republik’.
Republik pernah hadir dalam imperium Rumawi. Titus Livius (Livy), 17 M, sejarawan Romawi berkisah. Dia menulis kitabnya, ‘Ab Urbe Conditia Libri’. (Catatan tentang Romawi dan orang-orang Romawi). Tereksposkan tentang ROMULUS (753 SM), Raja pertama Romawi. Dia menyatukan rakyatnya di tepi Sungai Tiberias, Roma, dalam hukum dan agama. Tauhid menjadi kata kunci. Romulus mendirikan Romawi. Dia menjadikan sekelompok kaum cerdik pandai sebagai penasehat kegiatannya sebagai raja. Itulah senator. Senator dari kalangan kelas tertentu, kaum kaya dan agama.
Namun, selepas Romulus, Rumawi menjadi pemeritahan monarchi dan aristokrasi, hingga tirani. Akhirnya, tiba masa LUCIUS JUNIUS BRUTUS. Ini bukanlah Brutus yang yang membunuh Julius Caesar.
Dia membuat tatamodel baru, mengikuti apa yang disebut Plato, ‘republik’. Urusan umum. Atau urusan bersama. Masa itulah Romawi pantas disebut republik. Karena Brutus menjadikan senator sebagai partner kerjanya. Kaum tribune itulah yang dilayaninya. Itulah masa Romawi mengenal ‘virtue’. Ini bahasa lain dari futtuwa atau nobility. Inilah futtuwa yang dikenal dalam Islam.
CICERO hadir dengan kitabnya kesohor: ‘De Re Publica”. Dia kembali mengingatkan Romawi akan republik yang ideal. Republik yang dibangun Brutus I. Kitab Cicero itulah yang kemudian diambil manusia abad pertengahan. Itulah ‘de re publica’ diterjemahkan menjadi ‘state’ (english), ‘staat’ (Dutch), lo stato (Italia), le’etat (France). Inilah dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata: “negara”. Aslinya dari kata “statum” bahasa Latin. Artinya stabil.
Cicero pun berupaya mengembalikan lagi ‘republik’ Romawi. Karena pasca masa Augustus, Romawi tak lagi menjadi ‘urusan umum’. Melainkan Kaisar di bawah kendali sebuah institusi, yang disebut Legiun (tentara). Kaisar tak memerintah. Senator mandul. Tribune (rakyat) menjadi korban. Tapi para kaum passif, tak melawan kendali Legiun itu. Republik Romawi hanya nama.
Republik era kini tentu disambungkan JEAN BODIN. Dari Plato sampai Cicero. Lalu diteruskan Bodin (1530-1596). Inilah era tatkala Eropa tengah kegelapan. Masa ketika Islam tengah terang benderang. Bodin membangkitkan lagi tentang republik, urusan umum. Karena Monarkhi telah berubah menjadi Tirani di Eropa.
Bodin menitikberatkan pentingnya SOVERIGNITY. Ini diterjemahkan ‘kedaulatan’. Soverignity penting bagi pemerintah untuk mengatur dan mengendalikan rakyat (tribune). Syarat pokok summa protestas, kata Bodin, kekuasaan membuat hukum (legem universis ac singulis civibus dare passe). Dari sinilah sumber soverignity. Kedaulatan itu mutlak diperlukan. Dari mana sumber hukum itu?
Bodin meletakkan dua hal. Dari Tuhan dan dari manusia. Soverignity dari Tuhan itulah yang berlaku valid. Bodin meletakkan KEDAULATAN TUHAN sebagai pondasi utama. Itulah bangunan dasar untuk membuat “De Republica”.
Republik model Barat : Anti Tuhan (Wahyu)
Sementara modern state membaliknya. RATIO SCRIPTA, mengutip IMMANUEL KANT, menjadi pondasi utama. Karena hukum rasio alias logos, inilah yang menggantikan hukum Tuhan. Inilah yang melahirkan positivisme. Inilah yang disebut hukum positif. Padahal ‘Negara’, saat itu kata Bodin, tak mewakili soverignity dari Tuhan. Melainkan dari modern state, yang mengadopsi mitos absurd. Alias kepercayaan pada positivisme, yang berasal dari rasio manusia belaka. Inilah republik yang bukan republik.
Maka, itulah republik. Ketika Romawi dengan pondasi TAUHID. Ketika Utsmaniyya, sebelum tanzimat (1840), menerapkannya secara ideal. Republik bermakna Tauhid sebagai dasar pijakan pemerintahan. Kembali ke ‘republik’, berarti Kembali pada tegaknya Tauhid. Melaksanakan sistem kekuasaan dengan pondasi Tauhid. Maka, yang benar adalah ;REPUBLIK ISLAM……atau Negara berbentuk REPUBLIK alias JUMHURIYYAH.
0 Komentar
selalu santun dan layak dibaca