Ticker

12/recent/ticker-posts

Empowering Posisi Geopolitik Indonesia: Respon Terhadap Konflik Timur Jauh dan Ancaman Eksternal

 Respon Terhadap Konflik Timur Jauh dan Ancaman Eksternal

Oleh: Aji Teja Hartanto

Ketegangan Korea Utara dan Korea Selatan didasarkan pada klaim bersama mengenai pemerintahan yang sah untuk mengatur seluruh wilayah Semenanjung Korea . Wilayah itu terbagi sejak PD II dimana Korea Utara didukung Uni Soviet dan Korea Selatan didukung AS. Sepanjang 1950 hingga 1953, Perang Korea mengilhami hubungan perang tiada akhir hingga kini diantara dua negara. Beranjak pada kondisi itu, Korea Utara dengan bantuan Uni-Soviet memulai pengembangan Nuklir Yongbyon pada 1963 dan membangun reaktor riset IRT-2000. Sejak 1980, Korea Utara mulai menjalankan program senjata nuklir, mengoperasikan fasilitas untuk fabrikasi dan konversi uranium, dan melakukan uji coba peledakan dengan daya ledak tinggi. Hingga 2021, setidaknya Korut telah melakukan uji coba nuklir sebanyak 6 kali di samping uji coba rudal balistik antar benua (ICBM) yang mampu membawa muatan bom mencapai New York . 

Saat ini, pengembangan senjata Korea Utara cenderung mendapat dukungan Rusia dan Cina. Bagai gayung bersambut, AS memanfaatkannya untuk menimbulkan instabilitas di dekat wilayah timur Cina. Jepang maupun Korea Selatan menjadi tumpuan AS untuk dapat menaruh kekuatan militernya di kawasan Timur Jauh. Jepang mulai mentolerir kebijakan keamanannya untuk dapat membendung ancaman regional dengan melakukan amandemen pasal 9 konsitusinya. Akibatnya, terjadi perombakan terhadap kemampuan dan peran SDF (Self Defence Force)  dalam keamanan regional. Sedangkan Korea Selatan menjadi basis kehadiran militer AS melalui berbagai kerangka kerjasama keamanan. Lebih jauh, AS dapat mengawasi secara langsung dinamika terkait Cina seperti konflik perbatasan di Laut Cina Selatan dan perkembangan politik di Taiwan.  

Ketegangan di Timur Jauh merupakan konsekuensi dari adanya negara-negara yang saling berebut manfaat material demi mendukung politik dan ekonominya. AS menilai bahwa perkembangan pengaruh Cina di kawasan adalah ancaman. Program BRI (Belt Road Initiative) Cina sejak kemunculannya tahun 2013 yang telah memasukan negara-negara kawasan untuk terlibat dalam perluasan pasar ekonomi merupakan langkah untuk mereduksi pengaruh AS. Merspon hal itu, AS berusaha membangun kerangka kerjasama seperti TPP (Trans-Pasific Partnership)  sebelum penarikannya 2017, APEC, Free Trade Area dan yang terbaru adalah IPEF (Indo-Pacific Economic Framework). AS semakin khawatir, jika dominasi ekonomi Cina akan menyasar pada dominasi Politik di kawasan sehingga kebijakan politik di negara-negara tersebut akan mengikuti orientasi Cina. Maka, aliansi QUAD (AS, Jepang, India dan Australia) dan juga AUKUS (AS, UK dan Australia) merupakan wujud kebijakan keamanan yang memastikan bahwa kebijakan politik di kawasan timur jauh masih berada di bawah hegemoni AS. 

Indonesia tidak bisa diam dan menerima secara terbuka untuk dijadikan sebagai pasar tempat bertarung (battle-ground)  bagi Cina dan AS. Sebaliknya, Indonesia perlu membangun pengaruh independen yang setidaknya mampu memberikan daya menekan di tingkat regional sehingga dapat membentuk arsitektur hubungan politik antar negara di kawasan. Beberapa hal yang menjadi poin kunci untuk menunjang kapabilitas Indonesia dalam pentas konstelasi internasional di Timur Jauh diantaranya; Pertama, meningkatkan kemampuan angkatan laut (TNI AL), Kedua, membangun politik industri berorientasi perang dan Ketiga, memainkan kekuatan dari poros Indonesia-Malaysia.

Dalam mengukur kemampuan TNI, institusi ini menggunakan doktrin standarisasi Minimum Essensial Force (MEF). Indonesia dalam perkembangannya belum mampu mencapai standar minimum yang telah ditetapkan dalam MEF sejak diluncurkannya tahun 2005 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Di masa itu, pembaharuan alutsista seperti  pembelian pesawat tempur Sukhoi, kapal perang, dan kendaraan tempur, hanya mampu mencapai MEF sekitar 20-30%. Pada periode I pemerintahan Jokowi, persentase MEF meningkat pada kisaran 40-50% untuk pengadaan alutsista. Sedangkan hingga menjelang lengsernya pemerintahan Jokowi tahun 2024 ini, MEF justru diturunkan targetnya menjadi 70% saja melihat faktor anggaran dan geopolitik. Sejauh ini, MEF TNI dari tiga matra baru menyentuh angka 65,06 persen pada awal 2023. Rinciannya, TNI AD 77,38 persen, TNI AL 66,29 persen, dan TNI AU 51,51 persen . Jika dibandingkan kebutuhan penguasaan atas wilayah yang didominasi oleh 70% laut, tentu pertahanan Indonesia pada matra Angkatan Laut masih perlu ditingkatkan. 

Politcal Will pemerintah sangat menentukan dalam memprioritaskan peningkatan kemampuan Angkatan Laut. Dominasi alokasi anggaran Angkatan Darat sudah seharusnya dialihkan untuk matra Angkatan Laut. Jika alasan APBN tidak memadai, Negara dapat merubah arsitektur APBN dimana penerimaan kas negara harus bertumpu pada totalitas penguasaan SDA. Privatisasi yang bermuara kepada paham ekonomi neo-liberalisme Friedrich Hayek (1967), perlu ditarik dari penerapannya karena menjadi penyebab hilangnya kendali negara dalam memanfaatkan SDA untuk kepentingan rakyat. Cita-cita Indonesia untuk mengoptimalkan SDA untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat hanya sebatas coretan di atas kertas tanpa ada implementasi yang jelas. Program Hilirisasi yang saat ini digencarkan semakin membuka tabir lemahnya Indonesia untuk menutupi dampak buruk neo-liberalisme. Keuntungan dari adanya fasilitas pengolahan di Indonesia nyatanya masih mengalir ke negara asing seperti 90% keuntungan smelter nikel yang dikuasai Cina . Oleh karena itu, Perlu ada langkah serius menguasai kembali barang tambang agar dapat berkontribusi penuh bagi pemasukan negara. Kebijakan itu akan memberikan efek domino bagi sektor pertahanan terutama untuk peningkatan alutsista Angkatan Laut. Mengingat, tentara hadir sebagai patriot yang mempertahankan keutuhan wilayah yang didiami oleh rakyat.

Indonesia sudah selayaknya meningkatkan pengaruhnya hingga taraf great power  terutama untuk mengimbangi Cina dan Jepang khususnya di Timur Jauh. Indonesia dapat mengerahkan resource yang ada di dalam negeri untuk perindustrian berorientasi pada perang. Kebijakan semacam itu pernah dilakukan oleh Nazi Jerman, Uni Soviet, Inggris hingga AS dalam menghadapi perang dunia II dan ada diantaranya yang berlanjut hingga saat ini. Sehingga, Industri dibangun dalam rangka memberikan kemudahan untuk produksi kebutuhan alat-alat perang. Keseriusan dalam kebijakan ini tentu menunjukan kesadaran Indonesia akan ancaman eksternal yang sudah berkelindan mengepung wilayah negeri ini dari mulai pengembangan nuklir Korea Utara, ekspansi Cina secara militer di Laut Cina Selatan, perluasan pasar melalui BRI hingga aliansi militer negara adidaya QUAD  dan AUKUS . Secara geografis, Indonesia merupakan wilayah representatif yang berada di titik sentral kawasan Indo-Pasifik. Bahkan, keberadaanya sebagai episentrum maritim dunia (Global Maritime Fulcrum) . Dengan demikian, Indonesia mampu mewujudkan arsitektur kawasan yang mendukung dalam percaturan politik, ekonomi maupun militer dengan syarat memiliki sikap berani dalam menentukan kebijakan politik tanpa tunduk oleh kepentingan asing.

Indonesia memiliki lokasi-lokasi strategis yang memberikan leverage  untuk mempengaruhi negara lain dalam konstelasi internasional. Sebagai negara maritim, indonesia memiliki banyak selat yang menjadi jalur perlintasan bagi kapal-kapal. Sebut saja Selat Malaka dimana sebanyak 50.000 kapal melintas untuk setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia . Selat Malaka sebagai jalur pelayaran terpenting di dunia sangat dibutuhkan oleh negara-negara yang terlibat langsung dalam konflik semenanjung korea seperti Cina, Jepang dan Korea Selatan. Ketiga negara itu mengimpor energi Migas dari Timur Tengah dan ekspor barang manufaktur ke Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika dan Eropa. Sebagian dari Selat Malaka masuk kepada perairan Indonesia sehingga memungkinkan Indonesia untuk mengatur lalu-lintasnya. Indonesia dapat menutup jalur tersebut untuk menekan negara-negara terkait berunding untuk melakukan deeskalasi program nuklir. 

Untuk memperkuat posisi geopolitik terutama sebagai pihak representatif dari kawasan Indo-Pasifik, Indonesia dapat membina poros politiknya dengan Malaysia. Sebagai negeri yang serumpun Indonesia Malaysia dapat membangun hubungan yang terarah dan meletakan visinya berdasarkan kesamaan identitas berupa negeri dengan mayoritas Muslim terbesar. Kehadiran Poros Indonesia-Malaysia merupakan titisan dari episentrum maritim dunia dimana persimpangan jalur perdagangan internasional membutuhkan pengelolaan tersendiri oleh suatu entitas politik. Indonesia-Malaysia dapat bekerjasama untuk mewujudkan tata-kelola tersebut dan menjadikannya sebagai pijakan untuk membangun pengaruh bagi kawasan. Bahkan dapat melibatkan Singapura untuk mendukung orientasi politik Poros Indonesia-Malaysia. Kondisi ini akan menambah kekuatan geopolitik baru di tengah dua kutub antara Cina dan aliansi AS. Sehingga, pada gilirannya akan terjadi penuntasan permasalahan semenanjung korea secara efektif di Timur Jauh. 

Posting Komentar

0 Komentar